Berangkat ke luar negeri perlu bayar airport tax yang lebih mahal 3x lipat dibanding ke dalam negeri.Pekanbaru masih termasuk murah, cuma Rp 60.000. Klo ga salah dari Jakarta dan Surabaya sekitar 100 ribuan. Selepas check-in dan membayar airport tax, gw keluar untuk pamitan ama keluarga.Trus dengan pe-denya melangkahkan kaki ke ruang tunggu di lantai 2.Kalau cuma airport Pekanbaru sih tidak masalah. Gw sudah hafal di luar kepala.
Sampai di atas, boarding pass diperiksa. Bapak gemuk yang sedang bertugas memeriksa teliti dan bertanya, "Kuala Lumpur?"
Dengan mantap gw menjawab, "Iya, Pak." Rasanya gimana githu kalau ke luar negeri. Antara senang dan bangga, meski cuma Malaysia. Si Bapak berseragam biru muda tadi juga menyahut dengan mantap, "Salah, dek." Eh..
Waduh malunya, ternyata yang tadi itu untuk keberangkatan dalam negeri...
Setelah menanggung malu (untungnya nggak ada orang lain tadi), gw kembali sempat deg-degan ketika melihat ruang fiskal.Paspor diperiksa. Jangan-jangan mesti bayar fiskal lagi nih. Tapi paspor gw langsung dibalikin dan lolos tanpa bayar fiskal! Ternyata paspor Pekanbaru tidak kena fiskal kalau ke Malaysia =)
Sesudah masuk ruang tunggu yang benar, gw langsung mencari kursi paling dekat tangga menuju pintu.Mengingat penuhnya penumpang hari ini, prinsip siapa cepat dia dapat akan benar-benar berlaku di atas pesawat nanti. Maklum, Air Asia tidak menentukan nomor bangku bagi penumpangnya. Suka-suka mau duduk di mana. Gw ga pengen sampe kebagian kursi di bagian tengah. Gw pengen duduk deket jendela!
Pas gw lagi serius mengirim sms ke Pak Hendra (perwakilan dari Sumi Rubber yang berangkat dari Jakarta) untuk menginformasikan no hp gw, tiba-tiba seorang mbak cantik dengan seragam dan jilbab merah Air Asia menuju tangga dan berkata lantang, "Express Boarding, express boarding.."
Wah apa nih? Beberapa orang langsung setengah berlari menuruni tangga. Semuanya laki-laki. Serombongan ibu, nenek, dengan dua anak perempuannya juga turut serta. Namun langkah mereka dihentikan oleh si mbak tadi. "Maaf, express boarding kami cuma untuk lima orang. Silakan duduk kembali."Tau gitu gw harusnya jadi yang paling pertama donk. Si mbaknya juga nggak kasi kode apa-apa sih tadi. Kirain itu untuk orang-orang yang tiketnya lebih mahal macam business class, ternyata surprise-nya Air Asia. Tapi sepertinya ini cuma sesekali, karena dulu pas gw ke dan dari Jakarta naek Air Asia nggak ada tuh yang begituan.
Pesawat dengan nomor penerbangan QZ 7452 itu lepas landas pada pukul 08.40 WIB dan menempuh perjalanan selama 45 menit.Seminggu sebelumnya ketika mendapat informasi tiket dari Sumi Rubber, gw sempat nyeletuk, "Wah, biar irit ya, Pak!" (naek Air Asia).Tapi si Bapak terdengar tersinggung berat dan membalas, "Dari sana yang ada memang cuma itu."
Bercanda doank Pak!
Pas nyampe di malaysia antrian imigrasinya panjang betul, mirip antrian karcis premiernya Lord of The Ring II (jadi inget masa-masa ama Melati ni, hehe). Mungkin karena LCCT (Low Cost Carrier Terminal) jadi penumpangnya berjubel. Tapi terbilang cepat kok. Prosesnya juga tidak rumit, hanya menunjukkan paspor dan return ticket (mereka takut sekali kita tidak pulang-pulang). Pemeriksaan barang-barang juga ga ribet, kayak penerbangan domestik aja, apalagi kalau barang-barang yang dibawa standar perjalanan kayak baju+perlengkapan pribadi. Cuma lewat x-ray. Ga sampai tasnya dibongkarin satu per satu kayak di Australia.
LCTT ini mirip Terminal 1 di Cengkareng, khusus buat yang murah-murah macam Air Asia (dan sepertinya memang hanya Air Asia di sini). Terminalnya tidak besar, beda jauh kalau dibandingkan Cengkareng. Tidak ada "belalai" yang menjemput manis di pintu pesawat, karena terminal hanya terdiri dari satu lantai. Gw juga tidak menikmati megahnya KLIA (Kuala Lumpur International Airport), karena LCCT ini terpisah jauh dari terminal besar. Mungkin ini yang namanya dianaktirikan.
Sesampainya di sana g disambut udara panas Malaysia yang mirip Pekanbaru dan dijemput ama Mr. Lau, local tour guide yang jadi rekanan Smailing Tour (travel agent yang disewa Dunlop). Gw sempat duduk-duduk dulu sekitar 10 menit sampai gw melihat sesosok bapak dengan kemeja coklat bermotif ramai yang membawa-bawa print-an logo Dunlop yang dilaminasi. Dia bilang masih nunggu empat orang lagi.
Tak ada sign toilet di luar. Yang ada hanya McD dan kursi tunggu. Jadilah gw ke toilet di bagian Perlepasan Antarbangsa yang letaknya bersebelahan dengan bagian kedatangan. Di sana terdapat supermarket dan sebuah rumah makan. Sambil jalan, gw lihat air mineral botol berukuran 500 ml yang dipajang secara mencolok dengan tulisan RM 1,50. Karena persediaan air gw habis dan menurut adik gw perjalanan ke Putra Jaya lebih dari setengah jam, maka gw beli juga 1 botol. Sebenarnya di dompet 3 keping koin 50 sen, tapi karena takut siapa tau udah nggak laku, jadi gw bayar dengan selembar RM 10. Taunya kembalian 50 sen-nya sama dengan yang gw punya. Nyesel deh tadi nggak dibayar aja pake uang sen.
Di bis udah ada rombongan dari Jakarta (mereka nyampe lebih dulu). Jumlah rombongannya 30 orang, kebanyakan dari Jakarta (soalnya dari 4 tempat: Dunlop, toko, klub AXIC dan media). Media yang diundang majalah Auto Bild dan Tabloid Otomotif.Dari Pekanbaru sendiri sebenernya 2 orang, tapi yang satu lagi orang tuanya sakit, jadinya malah ke rumah sakit di Malaka. Dan ternyata di bis masing-masing orang dibekali dengan sebotol air mineral. Gratis.
Perjalanan g terdengar mulus sekali bukan? Tapi tahukah kawan, sehari sebelumnya g sempat stres banget karena IR (international roaming)-nya si no XL g belum bisa. Aduh!
Padahal g terlanjur ngasi no itu pas dikonfirmasi seminggu sebelumnya. Dan bodohnya g baru nyadar sehari sebelum berangkat kalo bawa-bawa no hp ke luar negeri itu perlu IR. Soalnya pas 4 taon lewat, g ga tau sama sekali apa itu IR jadi pas di eropa kaget kok ga bisa dipake, tapi trus cuek karena berpikiran mungkin di sana ga ada sinyal, haha..
Dulu g juga ga nanya ke orang2 yang hpnya tetap bisa dipake, aku terlalu terlena oleh angin dingin kaukasian...
Akhirnya g pake no simpati bokap yang ternyata untuk daftar IR gampang banget, tinggal sms, trus semenit kemudian langsung dateng sms balesan kalo IR-nya udah aktif.Bandingkan dengan yang g baca di buku panduan XL: daftar dulu ke XL Center, simpen deposit 1,5 juta atau bayar dengan kartu kredit yang sudah aktif minimal 6 bulan, trus tunggu survei dari petugas XL.
Hapeee deh...!!
(Tapi ternyata dari pengalaman Irin yang nggak daftar IR, XL tetap bisa aktif di luar negeri)
Selain gara-gara IR, gw juga stres karena no kontak tour leader (Mr. Agung) yang tercantum di jadwal perjalanan (dari Smailing Tour) ternyata salah!Gw sms mau ngasi tau perubahan no hp, eh malah dibales mungkin salah orang. Trus gw sms lagi donk, secara no-nya nggak meleset sedikit pun dari yang tertulis di kertas jadwal, jadi nggak mungkin salahTaunya yang gw sms memang mas Agung, tour leader dari Smailing Tour. Tapi Agung lain yang sedang bawa rombongan ke Paris. Jadi bukan Agung yang jadi tour leader ke Sepang. Walah! Mana waktu itu udah jam setengah 10 malam lagi!Gw sms lagi jelasin masalahnya ke Agung yang di Paris itu, dia bales kalau dia memang bener Agung, no hp-nya juga bener, tapi sedang di Paris. Dia menyarankan gw untuk telepon langsung ke kantor. Heh?!Mana ada orang di kantor malam-malam begini? Tapi gw juga males ngotot, apalagi sms yang terakhir itu diakhiri dengan kata "bye".
Pasalnya, sore itu mas Agung sang tour leader sempet telepon dari nomor kantor ke hp gw buat konfirmasi dan dia bilang tolong nanti dia dikabari pesawatnya on-time atau nggak. Dia juga nanya tau nomor teleponnya nggak. Ya gw bilang tau donk, soalnya sudah tercetak jelas di kertas jadwal. Pas hari H akhirnya gw sms aja Pak Hendra (dari Sumi Rubber) dan jelasin soal pergantian no hp dan masalah no hp tour leader yang bikin stres itu (gw dapet kertas hasil fax yang berisi database peserta tour+jadwal acara). Untung nomornya Pak Hendra ini bener. Malamnya gw tidur ditemani resah gelisah.
Tahukah kawan, setelah nyampe di Malaysia, gw baru terima kertas jadwal berukuran sepertiga A4 yang dijilid rapi dengan ring plastik, lengkap dengan cover abu-abu yang dilaminasi.Apa hubungannya? Di dalam buku itu tertulis no hp mas Agung yang benar. Seharusnya dikirimkan ke gw sebelum berangkat ya, jadi si buku cantik itu ada faedahnya. Tapi bukan cuma gw aja kok yang mengalaminya, peserta yang lain juga tidak kalah bingungnya gara-gara dibilang menghubungi no hp yang salah. Fatal? Tentu saja! Nasib baek masih di Malaysia. Coba kalau gw mau ke Paris tapi dikasi no hp tour leader yang ke Sepang.
Lho, kok malah jadi curhat ya..
Sebenernya memang mo curhat, tapi dengan kedok cerita jalan-jalan, haha.
Baik, baik, kita kembali ke topik utama kali ini.
Setelah rombongan terkumpul semua, maka kami-kami yang sepertinya sebagian besar baru pertama kali menapakkan kaki di negeri jiran itu dibawa menuju tempat mengisi perut di kawasan Putra Jaya. Air Asia memang tidak basa-basi. Mereka tidak memberikan apapun di pesawat selain selembar menu yang akrab dengan lidah Indonesia. Mungkin karena ini adalah Indonesia Air Asia jadi menunya sama dengan penerbangan domestik: nasi goreng Rp 25.000, Pop Mie Rp 12.000, dan macam-macam menu lainnya. Karena penerbangan Pku-KL cukup singkat, jadi tidak ada yang pesan apa-apa. Sepertinya semua sudah sarapan dengan porsi cukup. Tante yang duduk di sebelah gw juga tidak tertarik beli apa-apa. Mungkin karena dia terlalu sibuk mengipas-ngipas dengan kertas menu itu. Jangan bayangkan seperti kereta api ekonomi yang pendinginnya AC alias "angin cendela". Tidak seburuk itu, karena sebetulnya AC-nya cukup dingin. Tapi entah kenapa si tante tetap saja kegerahan.
Yang baca: "Mei, Putra Jaya-nya mana???" Oya, sampe lupa, hehe =D
Putra Jaya yang teratur, bersih, dan masih baru ini merupakan wilayah pusat pemerintahan yang diboyong dari Kuala Lumpur. Dibangunnya tahun berapa, luasnya berapa, tolong jangan tanya, karena gw tidak lebih tahu daripada mbak Wikipedia atau om Google. Jadi di sini yang ada hanya mesjid, kantor dan perumahan yang masih baru. Setiap jalannya memiliki bentuk lampu jalan yang berbeda.Kebersihan dan kerapiannya memang patut diacungi jempol. Dijamin bakal langganan Adipura. Bahkan kalau perlu setahun 3x!
Taman-taman rumput di tepi jalan seakan dipangkas setiap hari dan daun-daun kering yang berjatuhan seolah tidak dibiarkan jatuh sampai menyentuh tanah. Karung-karung berisi tumpukan daun kering dan potongan rumput banyak terlihat sedang bersandar di bawah pohon. Sempat terlihat beberapa pekerja yang memikul pemotong rumput, alatnya persis seperti yang dipakai pemotong rumput di seluruh Indonesia. Mungkinkah para pekerja tersebut masih satu tanah air dengan kita?
Tapi karena kawasan apik ini sengaja dibentuk sedemikian rupa, jadi menurut gw biasa aja. Gw cuma salut ama kepintaran mereka buat bikin pusat pemerintahan yang ternyata jadi agenda tetap bagi para turis.
Pemandangan yang disuguhkan tidak berbeda dengan yang ada di negara kita. Udaranya pun tidak lebih sejuk. Apalagi mengingat kedatangan kami bertepatan dengan waktu sholat Jumat (yang lebih lambat dari Jakarta, setelah jam makan siang) sehingga bus dilarang memasuki jalan menuju mesjid. Saya jadi ingat guyonan seorang teman, "Lebih baik makan dulu sebelum sholat, karena berpahala sekali bila saat makan teringat sholat daripada saat sholat teringat makan."
Kami berbondong-bondong berjalan kaki di bawah terik matahari yang cukup menyengat. Banyak yang mengeluarkan senjata pamungkas berupa topi Dunlop yang memang sudah dibagikan sebelum keberangkatan. Gw sendiri sudah siap dengan perlengkapan yang lebih matang: payung lipat.Peribahasa "sedia payung sebelum hujan" di sini harus diganti jadi "sedia payung sebelum ke putra jaya".
Ketika sampai di pelataran parkir depan mesjid, wah banyak juga ya sepeda motor di sini. Karena sepanjang perjalanan tadi sepeda motor yang terlihat tidak lebih dari sepuluh. Kami yang tidak sholat menuju lantai bawah yang disebut-sebut tour guide sebagai tempat belanja sehingga menyemangati orang-orang untuk terus berjalan menantang matahari di langit Putra Jaya ini.Menuju lantai bawah tersedia tiga pilihan bantuan: tangga, escalator atau lift. Kami memilih lift. Bukan apa-apa, tapi karena tangganya terlihat menjauhi lantai bawah dan escalator baru diketahui keberadaannya pada saat pulang.
Di lantai bawah terdapat bermacam-macam dagangan seperti di pasar jumatan depan Salman. Hanya saja tidak seramai itu dan jauh lebih permanen. Yang berjualan kebanyakan adalah orang India. Mulai dari makanan ringan sampai perhiasan semua ada, meskipun kiosnya tidak terlalu banyak. Tentu saja kios aneka ragam souvenir mendapat perhatian lebih selain juga penjual payung. Gw sendiri cuma beli mainan magnet buat kulkas berupa miniatur Kit Kat, coklat Van Houten, Crunch dan Toblerone. 3 for RM 10; 7 for RM 20. Begitu yang tertulis.RM 1 sekitar Rp 2.840. Dan yang sedikit mengejutkan, uang Rupiah ternyata bisa dipakai di sini. Tentu saja dengan kurs sedikit lebih mahal, Rp 3000 untuk RM 1.
Sebenarnya tidak ada yang betul-betul istimewa dari Putra Jaya, kecuali kelihatannya makmurnya =D
Oya, maap ni kalo fotonya ga terlalu menggigit (halah..), soalnya banyakan diambil dari bus.
(abisnya panas, hehe)
+mei+