Sunday, January 18, 2009

Dari Baterai Sampai Dubai (Bagian 1: Di Bandara Sutan Syarif Kasim II, Pekanbaru)

Setelah sempat tidak berminat karena rumitnya birokrasi visa, gw tergelitik juga mencicipi aroma negeri yang kerap disebut-sebut, mulai di buku sejarah sampai di iklan perjalanan wisata akhir tahun: Italia, kawan, Italia! Semua berkata "wah" ketika mendengar gw akan bertandang ke negeri spaghetti itu.

Tidak ada yang menyangsikan Italia sebagai tujuan wisata. Maka dengan segenap keinginan untuk meresapi sendiri cerita-cerita indah tentang Italia, gw tiba-tiba menjadi ahli logistik yang cermat. Saking cermatnya, tak tanggung-tanggung 5 pasang baterai rechargeable gw siapkan agar tak terulang lagi tragedi kematian baterai seperti di Sepang dulu. Setiap pasang baterai gw simpan rapi di dalam botol negatif film yang dulu pernah berfungsi sebagai penyimpan uang logam untuk ongkos angkot. Gw lap botol-botol plastik hitam itu agar bau logam uang yang tak sedap hilang. Kelima pasang baterai itu disimpan di dalam ransel agar mudah diambil, karena begitu sampai di Milan kami tidak akan bertemu dengan koper hingga check-in di hotel malam harinya.

Penerbangan Pku-Jkt dengan Batavia Air dijadwalkan pukul 10.30. Masuk pintu pertama, semua tas melewati X-Ray, tak ada masalah. Barang dan gw lolos sensor. Gw sarankan kawan kalau hendak terbang ke mana-mana kenakanlah pakaian paling aman ini: kaos oblong dan jeans tanpa ikat pinggang. Kalaupun harus memakai ikat pinggang pilihlah hati-hati, jangan yang impor dari China dan hanya berharga Rp 5500. Ikat pinggang jenis ini biasanya dipesan melalui katalog yang lucu-lucu itu. Murah, praktis, tapi beresiko.

Petugas imigrasi perempuan keturunan India di Singapura lima tahun lalu memeriksa gw tapi kemudian maklum bahwa itu hanyalah ikat pinggang biasa yang dipakai oleh gadis Indonesia baik-baik. Petugas perempuan berumur 40 tahunan berambut pirang di Berlin curiga dan tidak percaya begitu saja waktu gw bilang bunyi itu karena ikat pinggang. Gw disuruh berdiri di sebuah alas kaki -detektor juga kayaknya- dan dia berulang-ulang menggerakkan detektor dari ujung kaki sampai ujung kepala sampai berulang-ulang pula terdengar bunyi ketika detektor mendekati pinggang. Karena itu, kawan, gw ingatkan sekali lagi, kalau bisa jangan mengenakan ikat pinggang jika hendak naik pesawat!

Kembali ke penerbangan kali ini. Setelah koper keluar dari X-Ray, seorang petugas langsung membawanya ke tempat pengikatan atau istilah kerennya "strapping". Wah, benar-benar bandara yang berinisiatif pikir gw. Selesai diikat gw langsung menarik tas, tapi seorang mbak memanggil, "Enam ribu, kak." Walah bayar toh. Kemudian hari baru gw tahu hanya pemegang tiket Garuda yang tidak harus melalui "strapping", karena semua bagasi Garuda akan diikat di dalam dan gratis.

Pesawatnya ternyata delay sampai jam 12.00. Itupun tahu dari tv yang dipasang diatas counter check-in. Pas check-in petugas tidak memberi informasi apa-apa. Mungkin mereka pikir kan sudah diumumkan di tv, atau juga mungkin mereka malu harus mengonfirmasikan pesawatnya delay. Atau mungkin juga mereka tidak ingin pusing menjawab pertanyaan seputar masalah delay. Kalau mereka diam-diam saja, setidaknya hanya penumpang yang memperhatikan yang tahu.
Seorang ibu yang tampak bingung bertanya apa pesawatnya memang delay dan dijawab dengan santai, "Iya."

Orang bijak taat pajak. Begitulah kawan, di mana pun kita pergi selalu ada pajak, hanya namanya saja yang beda-beda. Kalau di bandara namanya keren, pakai bahasa Inggris "airport tax". Nilainya tergantung tujuan, dalam atau luar negeri. Domestik Rp 25.000,- dan luar negeri Rp 60.000. Kalau di Terminal 2 Cengkareng airport tax langsung dibayar pada saat check-in. Tapi kalau di Pekanbaru, ada counter kecil di bawah tangga menuju ruang tunggu.

Ada insiden kecil pas gw di sana. Bapak-bapak petugas bertubuh kurus dan berusia 50-an sedang berdebat dengan seorang penumpang masalah uang kembalian. Si penumpang bersikeras bahwa dia memberi uang 100.000, jadi harusnya kembali Rp 75.000, tapi si Bapak bertahan bahwa uang yang diterimanya Rp 50.000,-. Menurut gw penumpangnya tidak berbohong, mungkin Bapaknya saja yang tidak ingat. Bisa jadi penumpang lain yang memberi lembaran 50 ribu. Dulu-dulu gw selalu lupa membayar airport tax sehingga ditolak mentah-mentah pas mau masuk ruang tunggu. Begitulah kawan, di bandara ini tidak ada petunjuk mengenai prosedur apa saja yang harus dilalui seorang penumpang, sepertinya mereka menerapkan "learning by doing".
Seperti tragedi yang menimpa gw di tahap selanjutnya.