Monday, October 20, 2008

“Good bye, and good riddance”

“Good bye, and good riddance”. (good riddance: get rid of something yg unwanted)

Salah satu dialog di film Pursuit of Happyness saat si istri menyuruh Will Smith, tokoh utama dalam film ini, untuk tidak membawa pulang lagi barang dagangan pembawa sial.

Pada masa awalnya, pernikahan mereka sama seperti pernikahan lainnya di seluruh dunia, penuh kebahagiaan, optimisme, dan rasa cinta. Si suami yang tanpa latar belakang pendidikan yang memadai, berusaha bekerja sebagai salesman menjual barang medis yang ternyata di kemudian hari sama sekali tidak laku. Prediksi keuangan mereka meleset, dan tabungan sudah terlanjur ludes saat membeli modal barang-barang medis ini. Perlahan-lahan, pernikahan mulai diwarnai pertengkaran masalah keuangan. Biaya pajak, biaya penitipan anak, biaya transport, dan lain-lain mulai tidak terbayar. Sampai tiba hari si istri mengucapkan dialog di atas.

“Good riddance” di adegan itu menurutku sebuah ekspresi puncak kekesalan si istri terhadap kehidupan mereka, kok ia sampai tega mengucapkan itu pada sebuah sosok suami yang dulu sangat ia cintai? Seolah-olah nggak cukup kata “Selamat tinggal”, tapi sampai ke taraf “Enyahlah”. Secara tersirat, enyahlah bukan pada si barang dagangan yang tidak laku itu saja, tapi juga pada sosok si suami yang di mata si istri “kurang keras berusaha”.

Aku juga nggak tahu, dan di film yang diangkat dari kisah nyata tersebut juga nggak menyebutkan suasana ketika mereka menjalin masa pacaran, apakah keduanya bertemu dalam kondisi “materi orangtua” yang baik? Apa keduanya akhirnya menikah karena “sudah menemukan orang yang pas”? (Pas saat itu baik? Pas saat itu kaya? ) Kenapa sampai akhirnya di masa-masa keuangan yang sulit mereka (terutama sosok si istri dalam film ini) akhirnya harus menyerah dan berpisah? Aku tidak menyebutkan siapa pihak yang salah di sini. Kalau dibilang si istri yang terlalu penuntut secara materi, nggak juga. Ia menghadapi kenyataan sebagai pengurus keuangan keluarga, bahwa tagihan tiap bulan tidak bisa terbayar, dan ia ketakutan menghadapi itu dan masa depan mereka sekeluarga. Bahwa ia sampai harus bekerja subuh sampai malam untuk membiayai tagihan-tagihan itu. Kalau dibilang suami yang salah karena lemah dari segi pendidikan, lemah dari segi berbisnis tapi malah terlalu nekat dalam mengambil keputusan, kurang berusaha dalam mencari pekerjaan atau peluang lain, ya nggak juga. Bagaimanapun sosok Chris Gardner sudah berupaya keras mencari kerja yang lebih baik namun mentok di masalah pendidikan formalnya, dan usaha-usaha seorang suami seperti itu tentu saja wajib dihargai, didukung, dan disupport terus oleh istri, bukannya malah pesimis dan bilang “Tapi menjadi seorang peserta internship program itu merupakan kemunduran dibanding salesman”.

Mungkin harus dibuat Pursuit of Happyness dari segi pandang wanita sebagai pengurus keuangan keluarga dan masalah-masalah yang dihadapi ya, hahaha!

Jadi bagaimana biar nggak terjebak di masalah keuangan suami-istri seperti itu? Menurutku pribadi, yang bisa kita lakukan adalah mengenali pasangan baik-baik sejak awal kenal. Pasti ada ungkapan pesimis orang lain yang bakal bilang “Klise dan naif sekali!” Memang, tapi kalau kata-kata itu dipraktekkan lebih baik, pasti ada hasil yang lebih baik. Mengenali bibit, bebet, bobot. Tahu kondisi pasangan baik dari sifat, kebiasaan baik buruknya, sampai yang tersensitif, yaitu kondisi keuangannya. Tidak hanya kondisi pasangan, kalau perlu, sampai kondisi di keluarga besarnya seperti apa. Dan ini dilakukan saat proses pengenalan, bukan setelah menikah satu-dua hari, lalu terkaget-jaget melihat suami ngelempar kaus kaki di sembarang tempat, kaget ngliat istri bangunnya jam 12 siang dan nggak bisa memasak sama sekali, dsb. Kalau ada juga yang bilang “Ah, awet nggaknya nikah kan bukan dilihat dari lama nggaknya pacaran”. Ya mungkin, tapi nggak pernah ada salahnya mengenal lebih baik sebelum melanjutkan ke jenjang yang lebih serius, kan? Seperti memilih teman sehari-hari, nggak ada teman yang kita dapatkan dalam waktu semalam, semuanya lewat proses bertahun-tahun bahkan seumur hidup. Apalagi memilih pasangan hidup yang jelas-jelas bakal jadi roommate seumur hidup, teman satu atap seumur hidup, teman berbelanja seumur hidup, tentu butuh lebih banyak pertimbangan lagi.


“... akan menyertaimu dalam susah maupun senang, dalam sakit maupun sehat...”

Buatku, itulah bunyi janji terindah saat diucapkan di altar, namun juga janji terberat yang pernah, sedang, atau akan dijalani dalam hidup...