Wednesday, February 18, 2009

Dari Baterai sampai Dubai {Bagian 3}

Antrian panjang menyambut di pintu masuk ruang tunggu keberangkatan Terminal 2 Cengkareng. Penumpang dari berbagai macam bangsa dengan tertib menunggu giliran. Ah, lagi-lagi mesin X-ray dan lagi-lagi tas gw dicurigai menyalahi aturan. Pak petugas curiga dengan botol Clean&Clear Lotion 60ml yang tampak besar di layar monitor, jadi meminta petugas satu lagi untuk memeriksanya. Karena kali ini gw yakin tidak salah, jadi gw lebih tenang. Dan memang tidak ada masalah.

Sejak Maret 2007 (atau 2008 ya, gw lupa..) peraturan penerbangan internasional melarang penumpang membawa cairan dan gel ke kabin dalam jumlah lebih dari 100ml/kemasan dan lebih dari 1000ml keseluruhannya. Barang-barang seperti lotion, pasta gigi, facial foam, parfum, atau minyak kayu putih harus dikumpulkan dalam satu plastik transparan berbentuk zipper bag. Bahkan air minum saja harus rela dibuang. Karena itu kemarin ini banyak sampah botol air minum dan kotak jus yang tergeletak di bagian pinggir lantai menuju ruang tunggu. Tapi ini karena pihak bandara tidak menyediakan satu pun tempat sampah. Atau setidaknya ada seorang petugas yang memungut sampah atau mengumpulkannya dari para penumpang.

Penumpang yang jumlahnya lebih dari 500 orang itu diberikan kartu masuk yang berbeda warna. Setiap warna mewakili lokasi kursi di pesawat. Gw kebagian yang warna kuning. Jadi nanti kita akan dipanggil sesuai warna kartu. Sistem ini sangat membantu untuk menertibkan penumpang masuk ke pesawat. Seperti biasa, pada penerbangan tujuan Timur Tengah pasti kita akan bertemu dengan para pahlawan devisa (seperti yang terpampang di terminal kedatangan: Selamat Datang Para Pahlawan Devisa). Kali ini gw cuma bertemu dengan rombongan kecil TKW yang terlihat masih berusia belasan tahun dan salah satu tasnya hampir ketinggalan. Tadinya gw pikir dia mau ke WC, tapi melihat teman-temannya juga berdiri, gw dan tante gw spontan teriak, "Mbak, mbak, tasnya!"

Kami berangkat dari Jakarta sudah hampir tengah malam, tapi saat itu kantuk hilang membayangkan rangkaian perjalanan yang akan dilalui.
Oh Italia, ku kan datang...

Tapi seperti kata peribahasa orang barat, No Pain No Gain. Entah 6, 7 atau 8 jam di pesawat, gw tidak pernah bisa mengingatnya dengan baik. Yang gw ingat tidur di pesawat selama itu, di kelas ekonomi, terjepit di nomor kursi tengah, adalah tidur dengan posisi terburuk. Bagian bawah kursi depan seharusnya menjadi tempat kaki yang nyaman, tapi ternyata setengah bagian bawah itu terisi dengan kotak peralatan elektronik TV. TV yang gw puja-puja sebagai bentuk kemewahan transportasi udara. TV yang membuat gw serasa punya bioskop pribadi. Antara ngantuk dan ingin nonton, gw memindah-mindahkan dari The Dark Knight ke Iron Man ke The Dark Knight lagi, Iron Man lagi, sampai kemudian bosan karena mulai mengantuk. Sementara itu tante gw asik dengan acara berita dan penumpang di kiri gw asik main game. Akhirnya gw pilih musik instrumen Jepang yang terdiri dari macam-macam jenis musik, tradisional sampai jazz. Dan gw tertidur..

Ketika tidur, musik tadi entah sudah berapa kali berulang-ulang terdengar hilang timbul di headset, pertanda tidur yang tidak nyenyak. Paling lama setiap gw tertidur adalah setengah jam. Selimut dan bantal mungil yang ada malah membuat ruang semakin sempit. Tertidur, terbangun, tertidur, terbangun. Sesekali diselingi snack dan minum dari para pramugari dan pramugara Emirates yang selalu tersenyum.

Selain tidur, makan (berat) di pesawat juga bukanlah hal yang membuat hati senang, apalagi ketika hal itu mengingatkan gw bahwa lidah gw belumlah go international. Nasi basmati yang individualis (tidak saling lengket seperti nasi timbel) dengan gulai kari yang pekat bukanlah makanan favorit gw. Menurut tante gw, nasi individualis ini sangat disarankan untuk penderita diabetes. Tapi yah, mengapa mereka tidak menyediakan nasi goreng basmati saja?

Satu atau dua jam sebelum mendarat (gw lupa persisnya) pramugari menghidangkan sarapan berupa omelet dan roti-rotian macam croissant dan roti gandum bulat kecil yang keras. Saat pesawat mendarat, waktu Dubai memasuki subuh. Langit masih gelap. Jutaan lampu masih kerlap-kerlip. Kaki-kaki penumpang masih pegal dan lutut kaki kanan tante gw tiba-tiba terasa sangat sakit dan tidak bisa digerakka
n!

Thursday, February 5, 2009

Dari Baterai sampai Dubai {Bagian 2}

Masih ingat kan kawan kalau gw menenteng 5 pasang baterai dalam ransel? Nah, siapa sangka gw akan kesusahan gara-gara baterai tersebut. Pas ransel gw di-X-ray, tiba-tiba Bapak petugasnya bilang, "Kok baterainya banyak sekali itu?"
Dengan cepat gw jawab, "Kan buat cadangan, Pak." Sembari harap-harap cemas juga karena ada teguran seperti itu.

"Maksimal cuma boleh tiga pasang. Keluarkan yang lainnya."

Blaarrrrr...!!! Rasa-rasanya gw mau nangis sekaligus marah. Apa-apaan ini, di papan peringatan tidak disebutkan sama sekali tentang jumlah baterai yang boleh dibawa. Jengkel betul rasanya. Apalagi kemudian ibu-ibu petugas yang ada di sana memberi saran terkonyol yang pernah gw dengar, "Masukin aja ke bagasi."

Hah? Gimana caranya Bu, bagasinya kan sudah didaftarkan, sudah masuk. Mana bisa ditarik lagi. Kalau bagasinya belum dimasukkan, ya gw tidak akan masuk ruang tunggu ini. Betul-betul konyol! Akhirnya dengan terpaksa setelah berdebat kecil-kecilan -gw tahu akan kalah, karena mereka memegang peraturan- gw keluarkan dua pasang baterai Energizer yang belum pernah dipakai sama sekali itu.

Terus terang saat itu saking jengkelnya, gw tidak bisa berpikir cepat. Baru lima menit kemudian gw terpikir untuk minta sopir untuk jemput lagi ke bandara. Sialnya, karena gw pakai hp lain, jadi nomor si Pak sopir tidak ada di sana. Whoaaa, terpaksa telepon ke toko dulu minta bokap yang telepon. Padahal sepuluh menit lagi pesawatnya berangkat.
Begitu gw ambil lagi baterai tadi - setelah minta izin dulu tentunya- gw langsung lari ke bawah menunggu jemputan baterai.

Antara takut ditinggal pesawat dan berharap Pak sopir tetap bisa membawa pulang baterainya, perasaan gw campur aduk. Di saat-saat seperti itu punya kenalan di bandara akan lebih menyenangkan.

Tahukah kawan mengapa jarak waktu gw begitu sempit? Karena setelah check-in, daripada menunggu lama di bandara, mendingan pulang, karena dari rumah ke bandara cuma 15 menit dan ada jalan pintas yang bebas macet. Gw juga tidak menyangka akan ada tragedi baterai ini, jadinya santai. Kapok deh. Jadi gw sarankan kawan, sebelum masuk ruang tunggu jangan biarkan orang yang mengantar pulang dulu. Kalau tidak ada yang mengantar apa boleh buat. Seperti yang terjadi pada gw sekitar empat tahun lalu di Cengkareng. Saat itu dengan bodohnya gw membawa gunting di ransel, karena ingin mengerjakan tugas sambil menunggu pesawat -gw lupa tugas apa. Sewaktu nunggu sih pastinya tidak ada masalah, pas masuk ruang tunggunya itu yang langsung disuruh masukkan gunting tadi ke kotak transaparan yang isinya bermacam-macam gunting dan cutter. Jadi tambahan saran dari gw, kalau bisa jangan masuk ruang tunggu...

Setelah menjadi penumpang terakhir yang masuk pesawat, gw terbang aman dengan Batavia Air yang menyuguhi sepotong roti dan air minum kemasan gelas. Mirip makanan di kereta api atau di acara yang biayanya terbatas. Sampai di Cengkareng, sembari menunggu jemputan dari sepupu yang super sibuk, gw duduk di ruang tunggu penjemputan. Kalau ruang tunggu yang satu ini bebas dari X-Ray, jadi gw aman. Meskipun ada satu hal yang cukup mengganggu gw: nyamuk.

Di bawah-bawah kursi ini bersarang nyamuk-nyamuk ganas yang gw yakin sering menyerang petugas-petugas counter taksi, rental mobil dan hotel yang berada di sebelah -yang paling dekat miliknya taksi Gamya. Kursi di counter Gamya ini hanya 1, padahal petugasnya dua orang. Mungkin karena yang satu lagi diharuskan berdiri di depan untuk menawarkan layanan taksi kepada setiap penumpang lewat. Di saat-saat lengang, mbak taksi Gamya tadi duduk di kursi tunggu depan gw. Atau kalau kursinya penuh, berusaha nyelip di meja belakang yang tingginya sekitar 40 cm.

Penumpang lalu-lalang hampir setiap lima menit, kadang dalam satu waktu keluar banyak rombongan karena waktu mendarat yang berdekatan. Karena terminal ini hanya untuk penerbangan domestik, maka yang paling mencolok dari bawaan penumpangnya adalah oleh-oleh makanan. Ketika serombongan orang datang dengan menenteng kotak-kotak bertuliskan Keripik Balado Shirley atau Christine Hakim sudah bisa ditebak pastilah dari Padang. Penumpang dari Palembang pun kurang lebih sama, menenteng kardus coklat yang isinya mungkin mpek-mpek atau kerupuk kemplang. Sedangkan dari Pekanbaru, rasanya tidak ada yang menenteng oleh-oleh semacam itu, termasuk gw.

Sedudah puas menikmati pemadangan penumpang turun dari pesawat, akhirnya gw jemputan datang juga. Sepupu cewek gw ini benar-benar qatam dengan gaya menyetir ala kota besar. Sembari menerima teleon dari anak-anaknya -yang rewel menurut gw-, satu tangan tetap mengendalikan stir dengan sigap. Laju ke kiri, laju ke kanan. Gw aja yang cemas.